Perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) masih menuai pro dan kontra di masyarakat. Tak hanya perilaku, aturan hukum yang berkaitan dengan LGBT juga menjadi sorotan. Untuk itu, Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor menggelar seminar berkaitan dengan aturan hukum LGBT.
Laporan: Usman Azis
Para mahasiswa UIKA Bogor kemarin (31/1) dibekali pemahaman pentingnya mendorong perluasan makna pasal kesusilaan dengan memasukkan aturan sanksi pidana bagi pelaku LGBT dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Pakar Hukum Pidana Prof Mudzakir dalam seminar “Delik Kesusilaan dalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana” itu mengatakan, KUHP saat ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan konstitusi. Selain merupakan produk hukum kolonial Belanda, maka sangat rasional jika RKUHP ini dipatenkan.
Menurutnya, RKUHP ini tak hanya menjadi perhatian para akademisi. Melainkan perlu menjadi perhatian pemerintah, lembaga legislatif, para ahli hukum, dan para penegak hukum lainnya. Sehingga, aturan sanksi pidana bagi kaum LGBT dengan memperluas pasal-pasal kesusilaan dalam RKUHP dapat terealisasi.
Ini, kata dia, menjadi tugas bersama. Sebab, melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permintaan perluasan pasal-pasal kesusilaan seperti perzinaan (pasal 284), pemerkosaan (pasal 285), pencabulan sesama jenis atau homoseksual (pasal 292) dalam KUHP.
“Okelah, kita dengarkan alasan MK karena keterbatasan wewenang untuk merumuskan norma baru dan menyerahkan perluasan pasal itu ke pembuat UU, yakni DPR dan pemerintah. Namun, suksesi RKUHP ini harus berhasil,” jelasnya.
Dia menilai, pemaknaan perzinaan dalam Pasal 284 KUHP bersifat sempit. Perzinaan, kata Mudzakir, hanya dikenakan salah satunya atau keduanya terikat perkawinan, dan yang tidak terikat perkawinan tidak bisa dipidana. Semestinya, Panja RKUHP DPR tak hanya melihat dari segi hak asasi manusia (HAM) yang berlaku di negara-negara barat (Deklarasi HAM 1948).
Namun, Panja RKUHP merujuk deklarasi HAM di Mesir pada 1998 silam. Deklarasi tersebut intinya menyatakan bahwa hukum dibentuk bersumber pada beberapa instrumen. Yakni agama, adat istiadat, kearifan lokal, serta sosial dan kebudayaan yang berlaku di negara setempat.
Di tempat yang sama, mantan Ketua Komnas HAM RI, 2007-2012, Dr Saharuddin Daming menerangkan bahwa LGBT dalam eksistensinya menyebabkan pro dan kontra. Namun, terpenting dari itu adalah upaya semua untuk mencari solusi.
“Selalu ada solusi dan upaya. Apalagi, LGBT sebuah penyimpangan perilaku non-genetik yang dapat disembuhkan,” katanya.
Karena itu, Saharuddin melihat pentingnya Panja RKUHP di parlemen memasukkan perilaku LGBT sebagai delik pidana dalam RKUHP. Sehingga, setiap orang yang melakukan perilaku LGBT dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. “Intinya, LGBT memang mesti diatur dalam RKUHP,” harapnya.
LGBT juga menjadi perhatian para alim ulama. Seperti yang diutarakan Prof KH Didin Hafiduddin. Ulama asal Kota Bogor ini melihat bahaya serius yang mengancam sosial budaya dan eksistensi keluarga. Hal ini perlu dipahami seluruh masyarakat Indonesia, bukan sekadar persoalan HAM.
“Selain membahayakan kesehatan, saya melihat adanya bahaya konspirasi global serangan budaya di sini (LGBT, red),” tukasnya.
Dengan kata lain, sambungnya, LGBT saat ini bukan lagi perilaku individu, melainkan sudah menjadi sebuah gerakan global yang terorganisasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Penyebaran dan kampanye kegiatan komunitas LGBT di Indonesia banyak dipengaruhi oleh serangan budaya asing dan disokong dana oleh lembaga-lembaga asing.
“Perkembangan di 2018 luar biasa, LGBT ini bukan lagi perilaku individu, melainkan sudah sebuah gerakan global yang terorganisasi,” tuturnya.
Karenanya, ia berharap melalui seminar ini para mahasiswa dapat tersadarkan bahaya yang datang di hadapan mereka. Sehingga dapat waspada.
Mekipun menjadi program Fakultas Hukum, para mahasiswa di luar FH juga turut mengikuti kegiaatan ini. Seperti, Abdullah Fikri Muazaki. Mahasiswa semester dua jurusan Fakultas Kejuruan Ilmu Pendidikan (FKIP) UIKA ini mengaku tertarik dengan pembahasan seminar ini. Sebab, kata dia, persoalan LGBT tengah menjadi sortan publik yang tidak dapat disepelekan.
“Kalau mahasiswa tahu bahwa LGBT bisa masuk delik kesusilaan, maka bisa kemudian ditransformasi pada masyarakat. Setidaknya bisa menjadi warning,” jelasnya.
Ia mengaku khawatir dengan penyebaran perilaku LGBT yang seakan telah menjadi wabah. Khususnya pada masa depan anak bangsa dan dunia. “Kalau saya simak seminar tadi. Ternyata, LGBT ini menjadi kekhawatiran dunia, tak hanya di Indonesia,” tuturnya.(/c)