"62 tahun lalu, sejumlah tokoh Islam bersepakat mendirikan sebuah Kampus Islam dengan tujuan yang mulia. Tentu, menjadi kewajiban kita untuk melanjutkan cita-cita mulia para pendiri kampus ini". Ujar H. Adian Husaini, M.Si., Ph.D., pada peringatan Milad UIKA yang digelar di Masjid Raya Al-Hijri II Kampus UIKA Bogor, Jumat, 09/06/2023.
Ketua Program Doktor Pendidikan Agama Islam (PAI) UIKA Bogor ini melanjutkan, "UIKA Bogor selama ini telah melahirkan ribuan alumni yang telah memberikan kiprah nyata di tengah masyarakat. Tetapi, di tengah hegemoni peradaban materialisme-sekularisme, UIKA pun mendapat tantangan yang sangat berat untuk mewujudkan tujuannya yang begitu mulia".
"Melahirkan insan berakhlak mulia merupakan misi utama kenabian Rasulullah Muhammad SAW. Akhlak adalah kondisi jiwa yang kokoh yang melahirkan perbuatan secara otomatis. Perbaikan akhlak harus dimulai dari penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Sehingga sejalan dengan tugas kenabian itu, maka sejatinya UIKA telah berada di jalan yang benar. Sejalan dengan tujuan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) – “Terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan ilahi", ucapnya.
Menurut Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia itu, pendirian berbagai universitas Islam di Indonesia tak bisa lepas dari peran besar Mohammad Natsir. "Tahun 1937, Pak Natsir menulis makalah berjudul “Sekolah Tinggi Islam” (STI). Pak Natsir memandang perlunya umat Islam memiliki satu universitas secara formal."
"Saat itu memang sudah ada sejumlah universitas, seperti Technische Hoge School (THS, Sekolah Tinggi Teknik) Bandung, Rechts Hoge School (RHS, Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta, dan Geneeskundige Hooge School (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) Jakarta. Akan tetapi, ketiga universitas itu didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam rangka Politik Etis, yang bertujuan mensekulerkan dan mengkristenkan umat Islam", tambahnya.
Beliau melanjutkan, "Tujuh tahun setelah terbitnya artikel Mohammad Natsir tersebut (tahun 1944), Masyumi memutuskan untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam. Lalu, dibentuk Panitia Perencana STI yang dipimpin Mohammad Hatta dan sekretaris Mohammad Natsir. Dan pada 8 Juli 1945, STI secara resmi didirikan, dengan rektor pertama KH. Abdul Kahar Muzakkir. Tahun 1948, secara formal STI berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII)".
"Menurut Bung Hatta dalam Sekolah Tinggi Islam (Universitas Islam), agama dan ilmu harus bertemu dalam suasana kerjasama. Karena ulama pun harus banyak mengurusi soal negara, maka ulama perlu mempunyai pengetahuan luas tentang masalah masyarakat dan negara. Ulama seperti inilah yang diharapkan oleh Bung Hatta dapat dihasilkan oleh universitas Islam".
Pengurus Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu juga memaparkan, "Tujuan universitas Islam, menurut Mohammad Hatta, adalah untuk membentuk ulama yang berpengetahuan dalam dan berpendirian luas serta mempunyai semangat yang dinamis. Hanya ulama seperti itulah yang bisa menjadi pendidik yang sebenarnya dalam masyarakat.”
"Itulah cita-cita dan perjuangan tokoh-tokoh Masyumi yang ketika itu dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikoesoemo, KH. Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, yang nantinya dilanjutkan oleh Mohammad Natsir dan para tokoh lainnya, termasuk KH. Sholeh Iskandar (sebagai Pendiri UIKA Bogor)".
"Cita-cita besar mereka adalah membangun peradaban Islam yang agung. Dalam hal inilah, universitas Islam diharapkan memiliki peran yang sangat menentukan. Semoga kita diberikan kekuatan untuk melanjutkan perjuangan mereka", tutupnya. (Humas/MJ).